Monthly Archives: June 2012

H-5 “jam” : Pulau Bawean!

Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn’t do than by the ones you did do. So throw off the bowlines. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover – Mark Twain.

Dengan bekal doa dan kenekatan luar biasa,, semoga Bawean mampu menambah catatan perjalanan kami, demi mengenal Indonesia lebih dekat. Semoga Skhole makin jaya! Uyeaaah. :p

Cuilan “SI Semarang dan Onderwijs”

—“Kalau kita perhatikan pergaulan anak-anak di sekolah-sekolah masa sekarang, maka sia-sialah kita mencari geest (hawa) yang sepadan dengan usianya anak-anak. Murid-murid sekarang kerjanya lain tidak semacam mesin pabrik gula, yang siang malam tak berhenti bekerja. Siang malam anak-anak mesti belajar dan menghafalkan pelajaran, sehingga tiadalah berapa waktu tinggal untuk bermain-main. Lain dari pada waktu uitspanning, (main-main di pelataran) tiadalah ada mereka sanggup bercampur-campur. Satu sama lain kenalnya di kelas saja, sehingga kanak-kanak tiada merasa enaknya kumpul-berkumpul. Sifat ini kelak kalau besar akan terbawa-bawa juga, sehingga tiap-tiapnya orang suka mencari kesenangan sendiri-sendiri saja.”—

Tulisan di atas adalah sepenggal paragraf dari karya Tan Malaka dengan judul “SI Semarang dan Onderwijs”, pada poin kedua tentang tujuan SI Semarang.Ditulis tahun 1921 ~saat Tan Malaka masih muda~ membuat saya tersentil takjub. Pertama, tulisan Tan Malaka dalam bukunya itu menyajikan pemikiran yang modern untuk ukuran waktu itu, rentang waktu di mana “berpikir” adalah barang mahal. Kedua, saya jadi paham bahwa saat itu ~tahun 1921~ Tan Malaka sudah terpikirkan perihal anak-anak yang kehilangan masa kanak-kanaknya. Sama saja seperti sekarang, ketika kita berujar bahwa anak-anak sekarang telah kehilangan sebagian dunianya.

Selesai membaca bagian itu saya lantas termenung. Apakah memang anak-anak akan selalu mengalami kejadian yang akan menghilangkan sebagian dunia mereka, dari masa ke masa? Dulu iya, sekarang iya. Lucunya. Mungkin sejarah belum cukup tangguh untuk mengoreksi peradaban. Yang pasti ini masih jadi tanggungan kita. Masalah raibnya hawa kanak-kanak masa lalu pada masa kini. Kita baiknya mengembalikan rampasan anak-anak masa kini. Mengembalikan tawa lepas mereka. Saya yakin, bahkan pada masa Tan Malaka berpikir tentang SI, anak-anak zaman itu pun sejatinya masih bisa tersenyum. Hanya saja mungkin karena tak ada lagi hal yang lebih baik yang mereka rasakan, hal buruk pun mereka senyumi. Aih, ngomong apa sih saya ini? Ngalor ngidul jadinya.

Tiba-tiba saja saya terpikirkan obrolan perihal “perkanak-kanakan” ini. Bagi saya tentu masa kanak-kanak saya lah yang terbaik. Ketika Ahad saya diisi dengan tayangan anak-anak sejati atau sejenis kartun mulai dari jam 6 pagi sampai 12 siang. Belum ada distraksi dari tayangan-tayangan “non-anak-anak” yang kini banyak kami lihat di layar kaca. Tentu saja bagi masing-masing orang dari masing-masing jaman pasti akan beranggapan bahwa masa kanak-kanak mereka lah yang paling baik. Tapi apakah Tan Malaka juga merasa demikian ketika menuliskan paragraf di atas? Merasa masa kanak-kanak nya yang terbaik? Ah, pasti tidak. Anak-anak jaman itu memang butuh obat penyembuh luka bagi masa kelam mereka. Tak jauh beda dengan jaman sekarang. Anak-anak juga butuh penghibur bagi senyum yang ter-rampas dari raut wajah mereka. Sahabat bagi hati sepi mereka. Setidaknya itu yang saya pikirkan.

 

Obrolan di Kaki Langit

Matahari menggantung sejengkal dari horizon di ufuk barat. Awan putih masih menggelayut di antara tebing-tebing caldera Rinjani ~ bagai kapas yang dikoyak tak rata. Agustus memang saat paling tepat untuk mendaki, cuaca cerah, angin muson timur yang tenang, seolah semesta mendukung para perengkuh puncak.

“Ray, aku semalam mimpi aneh di tenda. Mimpinya tuh aneh banget, aku sampai lega banget pas bangun”, ungkap Kaysai sambil terus menatap siluet Gunung Agung di kejauhan. Sambil menyiapkan trangia untuk prosesi masak malam, Raya mencoba menanggapi, “Ah, kamu tidur ga berdoa dulu sih Kay. Makanya mimpinya aneh-aneh, apalagi ini di atas gunung. Kamu tahu kan, di atas gunung rawan kejadian aneh-aneh. hiiiii..” Kaysai membalas dengan bibir yang dicondongkan ke depan, tanda tak setuju. “Iye, iye, emang kamu mimpi apaan, Kaysai cantik?” Raya mencoba mengembalikan obrolan ke arah serius.

“Errr, jadi gini isi mimpiku. Aku mimpi lagi ada di sebuah jalanan terjal yang menanjak. Nah anehnya, jalanan itu aku identifikasi, sama seperti bukit penyesalan yang kita lewati kemarin siang. Terus di tengah jalan, tiba-tiba ada seorang kakek pake surban putih di kepalanya. Dia jalan turun dari arah Plawangan Sembalun. Aku kira dia salah satu anggota rombongan peziarah yang emang suka ke sini. Sejurus kemudian dia menyodorkan sebuah kotak kaca ke aku. Aku bingung lah Ray, aku kira itu semacam kotak undian gitu. Di dalamnya ada banyak lipatan kertas. Si kakek tiba-tiba bilang gini Ray, ~~”Nak, kotak ini berisi berbagai mimpi yang dimiliki manusia. Semua hal yang kamu impikan mungkin ada di dalam ini. Kamu mau apa, Nak? Rumah mewah? Tiket keliling dunia? Suami kaya raya? Semua ada di sini Nak. Tapi di dalam kotak kaca ini juga ada hal-hal buruk yang mungkin semua manusia hindari. Kemiskinan, kematian orang terkasih, harga diri yang direnggut, apapun yang bisa kau bayangkan tentang kesedihan ada di sini juga Nak. Nah, sekarang kamu punya kesempatan untuk mengundi nasibmu, Nak. Kamu boleh ambil satu kertas undian ini, dan apapun yang kamu ambil akan segera terwujud segera setelah kamu turun dari gunung ini. Jika yang kamu ambil tentang kekayaan, pastilah kamu akan jadi sudagar kaya, Nak. Tapi jika kamu mendapatkan kertas kematian, bisa saja orang terkasihmu akan pergi meninggalkanmu.”~~ Sontak aku bingung dong Ray. Tiba-tiba ada seorang kakek, yang aku yakin punya relasi dengan Dewi Anjani, menawarkan jalan pintas menuju mimpi-mimpiku Ray! Jujur, aku punya mimpi untuk punya pulau pribadi. Dan dalam benakku waktu itu, bisa saja aku  ambil satu kertas, dan sepulang kita dari Rinjani, aku akan tinggal di pulau mungil milikku. Ah, tapi sejurus kemudian si Kakek memberiku opsi lain Ray, ~~”Atau Nak, kamu bisa memilih pilihan yang lain, tidak mengambil kertas dari kotak ini. Dengan begitu, kamu bisa lanjutkan perjalanan ke puncak Rinjani, dan jalani hidupmu seperti ini apa adanya. Anggap kamu tak pernah bertemu denganku, Nak. Tapi kamu telah melewatkan kesempatan untuk meraih hal-hal yang membahagiakan…. atau mungkin menyedihkan.”~~

Ah Ray, waktu itu aku bingung setengah mati. Sedetik dua detik aku berpikir, apa mungkin kakek tua ini adalah malaikat yang diutus Tuhan untuk ngetes  aku ya? Apakah aku sudah cukup bersyukur dengan hidupku saat ini atau tidak. Kalau saja aku menuruti insting judi -ku, langsung saja aku ambil itu kertas Ray, menebak-nebak nasib. Tapi Ray, paaaass banget aku mau bilang keputusanku pada si Kakek, tiba-tiba kamu bangunin akuuuu! Bayangan si Kakek turunan Dewi Anjani hilang seketika, tergantikan wajahmu yang konyoooool! Arggh, Raya, kamu merusak mimpiku!” gerutu Kaysai sambil membetulkan posisi wajan teflon di atas kompor spiritus.

Sambil tertawa lepas, Raya menunjukkan rasa penasarannya, “Sori banget Kay, ya kamu juga sih, tidurnya sambil ngunyah gigi. Berisik tau! By the way Kay, emang keputusanmu apaan? Kamu ambil kertas undian nasib itu Kay?”

“Ya kalau mimpiku masih berlanjut sih, -sambil monyongin bibir ke arah Raya- aku bakal bilang enggak pada si Kakek. Aku sadar aku harus bersyukur sama hidupku sekarang Ray. Ga perlu lah aku pulau pribadi itu. Selama aku masih bisa maen-maen bareng kamu, Sarah, Rambo, ama si Gentong. Itu sudah cukup Ray. Undian nasibku murni ada dalam pikiranku sendiri. Aku mau apa, ya harus ada usaha untuk ke sana.” sambung Kaysai sambil melirik ke arah jam tangan Casio Baby G -nya. Di saat bersamaan, sahabat-sahabat mereka, Rambo, Gentong, dan Sarah datang sambil membawa beberapa botol air yang berhasil mereka dapatkan -bekal untuk membuat susu hangat sebelum summit attack esok dini hari.

Matahari kini tepat berada di garis horison ufuk barat. Menjemput malam. Bintang datang berhambur dengan kunang-kunang. Cahaya mereka tak pernah berbohong. Sama seperti Allah yang tak pernah ingkar janji. Terkadang hidup kita penuh akan kesempatan-kesempatan menyilaukan yang kita lewatkan. Untuk itu, bersyukur adalah jawaban indah yang mampu menutup   percik luka di hati kita. Ya. Bersyukur tanpa pamrih apapun.

They’re called ‘KIDS’

Hi, I’m Nate & I have DOWN SYNDROME.

Having DS is like being born normal. Me and you are equally important.

We were all born different ways, that is how I can describe it, I have a normal life just like YOU…

Mereka disebut “anak-anak”. Dengan segala polah dan tingkahnya. All of the pictures are taken from this awesome site –> http://sacred-smiles.tumblr.com/

Review ‘Partikel’ by Dewi ‘Dee’ Lestari

Sejujurnya sudah banyak review atau ulasan mengenai novel satu ini. Nama besar sang penulis dan legenda Supernova tentu menjadi daya tarik utama dari ‘Partikel’. Review ini cukup sebagai pemuas diri saja, karena saya telah menyelesaikan ‘Partikel’.

Dee. Nama penulis ini membuat harapan saya melambung tinggi saat pertama mendengar ‘Partikel’ telah terbit. Harapan akan cerita yang apik dan berbobot. Mengingat saya selalu terpukau dengan keahlian menulis Dee dari buku-bukunya sebelumnya : tiga buku Supernova, Filosofi Kopi, atau Madre. Dan ya, harapan saya Dee penuhi. ‘Partikel’ menyuapi saya dengan hidangan pembuka berupa bahasa khas Dee yang puitis namun mengalir, hidangan utama : konflik klimaks yang membawa saya hanyut ke dalam dimensi cerita, dan hidangan penutup : singgungan kisah tentang Bodi dan Elektra dari kisah Supernova sebelumnya.

Tidaklah perlu ingat cerita Supernova sebelumnya untuk membaca seri ini. Ceritanya tak menyatu. Namun, sedikit pengetahuan tentang ‘Akar’ dan ‘Petir’ mungkin boleh juga. ‘Partikel’ berkisah tentang pencarian seorang Zarah akan sosok yang dia cintai. Perjuangan Zarah dalam memaknai hidupnya, setelah dia sendiri tak tahu apa makna dari hidup itu sendiri. Zarah, anak seorang penggila botani mencerminkan sosok seorang pemberontak yang cerdas. Seakan dia titisan Athena yang pandai, Aphrodite yang cantik, dan Artemis yang tangguh sekaligus.

Namun ada sisi dari ‘Partikel’ yang mungkin ~in my humble opinion 😉 ~ harus dicerna dengan cerdas. Saya rasa novel ini begitu jelas mengantarkan pesan tentang atheisme atau sekulerisme. Oke, tidak ada yang salah memang dengan isi novelnya sendiri. Namun saya hanya takut kalau sosok Zarah dalam novel ini mampu memberikan suatu utopia bagi para pembaca akan sebuah kehidupan Zarah yang begitu “nikmat” dengan wataknya yang “seperti itu”. Once again, that’s just my opinion. Overall, novelnya sendiri bagus, saya beri bintang 4 pada goodreads saya. Oh ya, dan tampaknya ini bakal berlanjut ke novel Supernova kelima, suatu pentalogi. Dee sekali lagi berhasil mengukuhkan posisinya sebagai penulis papan atas Indonesia.

 

An Amazing Performance : Cinematique by ‘Adrien M/ Claire B’

Sore tadi saya sama sekali tak tahu siapa itu Adrien Mondot atau Claire B. Siapa pula Satchie Noro? Bahkan saya tak menaruh minat khusus pada tarian kontemporer. Dan memang sebelum-sebelumnya saya sama sekali tidak pernah melihat suatu pagelaran tari kontemporer secara langsung. Berminat untuk melihat pun sebelumnya tidak. Namun ada satu hal yang membuat saya malam ini, mendadak tergila-gila pada dua hal : tari kontemporer dan multimedia performance.

Sepulang dari mengajar di Kebon Bibit sore tadi, saya tiba-tiba diajak untuk melihat suatu pertunjukan yang diadakan oleh Institut Francais Indonesie, sebuah lembaga kebudayaan Indonesia-Perancis. Pertunjukan apa itu, saya tidak tahu. Spontan kepala saya mengangguk saja, mengiyakan. Tidak peduli apa dan bagaimana pertunjukan nanti, apakah bakal membosankan? Saya tidak ambil pusing. Sepanjang gratis dan bermanfaat, jiwa anak kosan saya sontak mendukung. Jadilah saya dan 4 teman Skhole saya berangkat menuju tempat diadakannya pertunjukan, Teater Tertutup Dago Tea Huiss.

Pukul 19.30 pertujukan pun dimulai. Jujur, mata awam saya ini merem melek melihatnya: antara takjub dan heran. Baru pertama saya melihat pegelaran tari di luar tari-tari tradisional semacam serimpi atau jaipong atau tari Bali. Yang kulihat ini mutlak di luar dugaan saya. Sungguh berbeda. Saya tak tahu apakah pertunjukkan ini masih pantas disebut sebagai tarian kontemporer biasa? Saya pikir tidak. Ini luar biasa. Fusi antara tari dan teknologi menyajikan suatu karya yang mungkin bisa mengubah persepsi akan tarian. Adrien Mondot dan Satchie Noro berhasil membawa saya ikut ke dalam imaji mereka di atas panggung.

Adrien M / Claire B merupakan grup tari yang dibentuk tahun 2004. Grup ini membangun sebuah dunia tarian baru yang seolah diangkat dari khayalan tingkat tinggi dari penari kontemporer manapun. Mereka menggunakan visualisasi grafik dengan komputer untuk menyinergikan koreografi mereka. Sungguh indah sekaligus artistik, atau boleh dikatakan canggih.

Sampai akhir penampilan Adrien dan Satchie, saya betul terkagum-kagum. Tarian mereka bukan hanya gerak yang dihafal di luar kepala. Tarian mereka menyampaikan pesan yang berbalut puisi tak berima. Mengalir, tanpa keraguan. Total satu jam saya terduduk takjub di depan panggung. Sebuah pertunjukan yang apik. Berikut saya sertakan trailer dari Cinematique yang saya cuplik dari Youtube :

Rencana Allah itu Indah

Matahari cukup terik. Tidak ada yang salah dengan hari ini. Pohon masih tertancap pada akarnya. Daun masih bergoyang pada dahannya. Sampai sore ini,  saat kepalaku pening pasca terbangun dari tidur yang tak diharapkan. Masih dengan mata yang setengah terpejam, kubuka inbox email yang berkedip tanda ada pesan masuk. Oh, email dari perusahaan tempat aku nanti TA ~ jujur awalnya senang, khuznudzon karena akhirnya bisa mulai TA juga. Namun hatiku kecut sesaat setelah prosesi membaca cepat isi email itu. Isinya, intinya TA-ku diundur mulainya jadi bulan depan. Apa? Juli? TA baru mulai Juli, mau lulus kapan kau Sapto? Spontan otakku mulai mengurut bulan, Juli..Agustus..September..Oktober. Oke, dua bulan waktu sebelum kolokium. Astaga. Cepet amat…

15 menit lamanya aku mencoba untuk menerima kenyataan ini. *ok terdengar sangat sinetron. But, it’s true. Bagian bersih pikiranku mulai ambil alih, mari ambil sisi positifnya. Diundur satu bulan, berarti bertambah waktuku untuk menyiapkan materi TA nanti. Bertambah waktuku untuk menyelesaikan tanggungan yang harus diselesaikan. Ok, diundur satu bulan, pasti ada hikmahnya. Bukan berarti lulusnya ikutan mundur kan? Diundur satu bulan, tantangan bagiku untuk mengatur strategi mengejar “Oktober Ceria”. Terserah apakah ini usaha penghiburan diri atau bukan. Tapi aku yakin bahwa..

Diundur satu bulan, aku percaya rencana Allah itu indah.. Bismillah.